Untuk kebanyakan orang, tidak merasakan nyeri bisa jadi merupakan sesuatu yang didambakan. Seseorang menjadi seperti Superman karena tidak bisa merasakan sakit. Kondisi ini sebenarnya adalah sebuah kenyataan bagi beberapa orang yang memiliki kelainan genetik yang disebut sebagai CIPA atau Congenital Insensitivity of Pain with Anhidrosis.
Walaupun sebuah penyakit saraf, manifestasi penyakit CIPA banyak terkait pada bidang ortopedi. Penderita CIPA tidak bisa merasakan sakit, sehingga gejala baru mulai disadari orang tua ketika anak mulai banyak bergerak. Anak-anak penderita CIPA bisa bermain tanpa merasa sakit, sehingga sering mengalami cedera, dari yang ringan hingga berat. Cedera yang ringan contohnya pada lidah dan jari-jari yang digigit secara tidak sadar sehingga menimbulkan luka. Sedangkan yang berat adalah dislokasi sampai patah tulang berulang akibat melakukan kegiatan yang tidak disadari menimbulkan patah (misal: meloncat, menabrak, dan lain-lain).
Penyakit ini sangat jarang ditemukan yaitu terjadi pada sekitar 1:25.000 orang. Penanganannya juga menjadi sulit karena belum ada konsensus tentang tatalaksana CIPA. Kasus yang jarang juga menyebabkan diagnosa dan penanganan yang terlambat. Banyak penderita CIPA yang pada akhirnya harus mengalami amputasi tungkai akibat cedera yang berulang sehingga menyebabkan bagian tubuhnya sulit sembuh sampai tidak bisa berfungsi lagi.
Untuk mendiagnosa penyakit ini, diperlukan pemeriksaan pemetaan DNA (DNA mapping). Pada CIPA terjadi mutasi pada gen NTRK1. Gen NTRK1 memberikan instruksi untuk membuat protein reseptor yang menempel (mengikat) ke protein lain yang disebut NGFβ. Reseptor NTRK1 penting untuk kelangsungan hidup sel saraf (neuron).
Reseptor NTRK1 terdapat pada permukaan sel, khususnya neuron yang mentransmisikan sensasi nyeri, suhu, dan sentuhan (neuron sensorik). Ketika protein NGFβ berikatan dengan reseptor NTRK1, sinyal ditransmisikan di dalam sel yang memberi tahu sel untuk tumbuh, membelah, dan bertahan hidup.
Mutasi pada gen NTRK1 menyebabkan protein yang tidak dapat mengirimkan sinyal. Tanpa adanya sinyal yang tepat, neuron akan mati oleh proses penghancuran diri yang disebut apoptosis. Hilangnya neuron sensorik menyebabkan ketidakmampuan untuk merasakan sakit pada penderit CIPA. Selain itu, orang dengan CIPA kehilangan saraf yang mengarah ke kelenjar keringat, sehingga menyebabkan pasien tidak berkeringan (anhidrosis).
Dr. dr. Franky Hartono, SpOT (K) mendapat kehormatan selama 27 tahun merawat satu-satunya pasangan kakak-adik penderita CIPA yang terlapor di Indonesia. Kedua tersebut ini dituliskan dalam pelaporan kasus pada jurnal International Journal of Surgery Case Reports yang dapat diakses pada tautan berikut ini